Terpenjara Kebisuan

07.12 0 Comments A+ a-

Siang. Di rumah sakit.



"Jleg" 

Terdengar suara pintu kamar rumah sakit terbuka. Aku yang saat itu sedang membaca Al-Qur'an disamping ranjang pasien segera menyingkir, memberi jalan pada serombongan keluarga yang baru saja datang. Nenek berada dibarisan paling depan dengan wajah paniknya. Aku tidak sempat menyalami mereka satu persatu karena kondisi yang tidak memungkinkan. Rombongan keluarga itu panik semua.

Aku mundur beberapa langkah. Menjauhi ranjang pasien yang sedang terbaring koma itu dengan Al-Qur'an tetap berada dipelukanku. Memandangi mereka dengan hati iba. Terdengar suara Nenek yang mulai terisak.

Aku menghela napas dan tidak sengaja menoleh ke seorang lelaki berjarak agak jauh dibelakangku. Lelaki yang memakai baju berwarna sama dengan baju yang sedang aku kenakan. Aku terperangah ketika menangkap basah bola matanya sedang menatapku tajam. Wajah khas dinginnya. Tatapan tajamnya...

Mendadak aku menjadi salah tingkah. Bukan faktor geer atau apa, tapi karena aku merasa jengah ditatapnya seperti itu. Seakan-akan aku terlihat aneh dimatanya. Hei, kenapa? Apa yang salah dariku? Bukankah ini kali pertamanya kita bertemu setelah bertahun-tahun kita tidak bertemu? Bukankah seharusnya kita melepas rindu? Ya, rindu dalam makna yang luas bukan sempit seperti anggapan orang banyak.

Aku segera melangkahkan kakiku keluar dari ruangan. Aku duduk disalah satu bangku koridor yang tersedia disana. Tidak lama kemudian, lelaki itu juga keluar. Ia melewatiku begitu saja lalu mengambil posisi cukup jauh dari tempat dudukku. Ia berdiri membelakangiku.

Ia terlihat acuh dengan keadaan sekitar, bahkan kepadaku yang pernah mempunyai masa lalu dengannya. Aku yang pernah menghabiskan hampir sebagian masa kecilku dengannya. Terbesit hasrat untuk sekadar menyapanya. Tapi aku takut. Aku takut bila responnya sedingin pandangannya terhadapku. Aku menelan kembali niatku itu.



10 menit. 15 menit.

Lama kami tenggelam dalam kebisuan. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku hanya dapat memandangi punggungnya. Mengubur segala rasa penasaranku akan sikap misteriusnya. Hingga akhirnya waktu yang mematikan keadaan bodoh itu. Ia pulang dengan rombongan keluarga itu!

Aku menjerit dalam hati. Menyesali kebodohanku yang tidak mencoba untuk mencairkan keadaan. Bukankah selama ini aku bisa dengan mudah bersosialisasi dilingkungan asing? Tetapi mengapa sekarang sulit? Bukankah dulu ia pernah melewati suka dan duka bersamaku? Ah, kini rasa penasaran itu masih berdemo di otakku. Menjejali dengan ribuan pertanyaan yang sulit untuk ku jawab. Lelaki itu berhasil membangkitkan rasa penasaranku tanpa mengizinkanku untuk menemukan jawabannya. Meninggalkanku tersiksa dengan rasa penasaran itu...